Ketengan: Mengejar Kudapan di London



Pelancong & Foto: Dewi Wulansari
Tulisan: W. Darma

Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akirnya aku sampai di toko kue yang sangat populer di (instagramers) London, Maitre Choux. Katanya, toko kue ini dimiliki oleh Chef Perancis yang tampan. Sebagai seorang perempuan bergelar master of dessert hunter, tak ada kenikmatan yang lebih wahid daripada memakan kudapan yang dibuat oleh papah muda yang ganteng.

*****

Sang chef, Joakim Pratt (sumber)
Pagi ini aku dibangunkan oleh dinginnya angin musim gugur. Bulan Oktober memang gugur paling dingin-dinginnya di kota ini. Sebentar lagi musim salju akan datang, wajar jika udara di sini begitu dingin.

Hari ini merupakan hari terakhir perjalananku di kota ini. Setelah beberapa hari yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul. Beberapa orang bilang kota ini luar biasa, tapi menurutku biasa saja. Overrated malah. Semacam Jakarta versi lebih maju. Enakan di Bantul, adem ayem.

Setelah mandi pagi dan menyeruput black earl tea (udah mirip briton belum?), aku mencoba mencari apa yang bisa dilakukan hari ini. Setelah berenang di lautan medsos, akhirnya aku menemukan target operandi hari ini, sebuah toko kue, Maitre Choux.

Followernya 24k. Kurang valid apa lagi coba.
Seperti yang dirumorkan oleh orang-orang, tempat ini selalu padat pengunjung. Atmosfir di tempat ini sungguh memanjakan para penikmat kudapan, dengan interior classy dan cozy. Panjangnya antrian di depanku juga menunjukkan bahwa tempat ini memang layak dikunjungi. Walau tadi aku tersasar cukup jauh. Err.

Ini bentukan toko kue yang katanya Michelin 3 star (sumber)
Aku memulai mencari toko kue ini dengan mengikuti arahan dari paman gugel. Walau diterpa angin dingin dari musim gugur yang menusuk sampai ke tulang, aku tidak akan layu, Hayati harus setrong. Sepertinya orang-orang disini sudah terbiasa dengan angin gugur ini, tidak seperti anak Bantul ini yang sudah mulai umbhelan. *sroot*

Sebenarnya aku agak lelah berjalan karena pegal dari perjalanan kemarin, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Oke, aku sudah sepuluh hari melakukan perjalanan dan belum kembali ke Leeds. Kaki ini memang sudah pegal, tapi lidah ini ingin menyicipi kue yang terkenal itu. Jadi, apa boleh buat.

Ketika terlalu banyak cerita, tiba-tiba hpku bergetar, mungkin sebuah pesan dari gebetan, pikirku. "Srak," aku merogoh tas kecilku, kubuka kunci pada layar, dan tidak ada perubahan pada layar. Damn, rupanya baterainya habis. Pantas seperti ada yang lupa. Tapi apa. Ternyata miniatur duniaku lupa di charge. Ngomong-ngomong aku dimana ya?

Kesasar di London.
Semakin lama antrian di depanku semakin berkurang, dan kue-kue mulai terlihat penampakannya. Yang cukup menarik perhatianku adalah eclair, choux dan chouquettes. Sebenarnya aku ingin mencoba semuaya, tapi apa daya aku cuma mahasiswa. Mahasiswa biasa yang ga sengaja ada di Eropa. Hiks.

Ini kue-kuenya yang sungguh mempesona (sumber)
Ditinggal mati telepon pintar di kota yang asing mungkin adalah sekenario terburuk bagi para pelancong masa kini. Tapi tidak untuk orang-orang yang terbiasa diminta simboknya pergi ke pasar untuk belanja ketika masih SD. Ya, ketika SD dan sendirian. Aku sudah terbiasa tersasar di tengah pasar diantara om-om yang asing. Yha.

Ancar-ancar untuk mencapai Maitre Choux seingatku adalah Stasiun Kereta Kensington Selatan. Stasiun bawah tanah yang dibuka pada tahun 1868 ini tidak memiliki cerita spesial. Sebuah cerita yang pernah kudengar, katanya pernah muncul penampakan sesosok mahluk yang bergelantungan dengan topi lancip dan jubah di sisi kereta yang lewat di sini. Entahlah itu apa.

Setelah sampai di stasiun ini, ambillah jalan ke arah barat untuk mencari kitab suci, eh maksudnya kue suci. Setelah kaki ini dibuat letih dan jiwa ini dibuat haus, akhirnya aku sampai ke tempat tujuan, untuk ketemu dengan chef ganteng, eh salah, untuk menyicipi dengan kudapan impian.

Ini dia Stasiun Kensington Selatan (sumber)
Akhirnya giliranku untuk memesan. Mataku langsung terhipnotis oleh kue-kue yang dihias dengan cantik. Terlalu cantik sampai membuatku malu akan kemampuanku merias muka sendiri. Setelah terbengong akhirnya aku memesan 2 eclair, 1 choux dan 1 bungkus choquette. Belum selesai dibungkus, aku sudah berfantasi bagaimana lidah ini mencumbu para kue ini. Nikmatnya.

Aku hanya ingat rasa pistachio. Sisanya lupa. Haha.
Memang benar kata orang kalau perjalanan pulang selalu terasa lebih cepat daripada perjalanan berangkat. Tidak ada tersasar atau disapa letih, tiba-tiba tempat tingal temanku menginap sudah terlihat. Entah ini karena jalan pulang atau karena dituntun nafsu. Okelah.

Oh iya, di Turki kemarin, aku menemukan kudapan yang sekarang menjadi kudapan favoritku, baklava. Kudapan khas ini, seperti makanan negeri ini lainnya, memiliki rasa yang manis. Setiap lapis baklava dibenamkan gula di dalamnya, mungkin gunanya untuk membius para penyuka kudapan seperti aku ini. Yha.

Aku memasang standar yang tinggi untuk para kudapan dari Maitre Choux ini karena selain chefnya ganteng, dia berasal dari Perancis, salah satu negara dengan gastronomi paling maju di daratan Eropa. Selain itu toko kue ini harganya mahal dan terkenal di medsos. Info apa yang lebih valid daripada medsos? Tak ada, kan. Setidaknya kue-kue ini akan menjadi favoritku nomer dua di sini.

Baklava sang idola para pencinta kudapan.
Setibanya dirumah, aku langsung menuju ke ruang makan dan mulai menelanjangi kotak kue yang dibungkus rapih. Salah satu kue aku pesan dengan rasa pistachio, rasa kesukaanku. Entah mengapa, semenjak pindah ke tanah Eropa, pistachio nut selalu jadi pilihan rasa utamaku. Mungkin karena disini tak ada pete nut dan jengkol nut.

Aku mengambil eclair dengan tangan kananku. Dalam genggamanku adalah sebuah eclair yang dipuja-puja (dan juga berharga setara 3x makan siangku di kampus) di medsos. Bibir ini agak sulit meraihnya, karena besarnya nama yang disandangnya. Tapi aku harus kuat. Dengan sigap aku menggigit kue ini tanpa berfikir panjang.


*Nyam* *Nyam*



*Meraih eclair rasa pistachio*

*Nyam* *Nyam*



“Ga… ga mungkin,” hati ini berteriak. Kedua krim di eclair ini memiliki rasa yang medioker, bahkan cenderung memiliki rasa yang mirip. Bahkan krim pistachionya tak ada rasa pistachionya menurutku. Es krim klontong rasa pistachio belakang tempat tinggalku di Leeds bahkan lebih enak daripada ini.


“Mungkin choux ini andalannya,” pikirku, berhubung choux dipakai di nama toko kue ini.

*Meraih choux*

*Nyam* *Nyam*



Oke, kue sus Pasar Bantul lebih enak. Rasa chouxnya lemah, persis seperti eclairnya. Akupun hanya bisa terdiam.

Satu-satunya yang bisa mengembalikan moodku adalah choquette nya. Dengan tampilan yang sederhana dan humble mirip onde-onde mini, rasa yang diberikan sunggulah diatas ekspekstasi, cetar membahana. Beda dengan saudaranya yang dipoles kelewatan tetapi rasanya medioker. Aku merasa tertipu.

Walau merasa dikhianati, aku kudu setrong (sumber)
Setelah menghabiskan kue-kue ini, aku langsung berkontemplasi. Jangan lagi aku percaya info di medsos mentah-mentah, mungkin info tersebut hanya info yang dilebih-lebihkan, overrated. Yang lebih penting lagi, jangan percaya tampilan luar, mungkin riasannya lebih mahal, tapi belum tentu isinya lebih baik. KZL. []

*****


Dewi Wulansari (@dueyweywey) adalah mantan mahasiswi asli Mbantul yang hobi college hopping (istilah apaan nih) di kampus-kampus Eropa. Hobi traveling dan hunting kudapan enak. Dulu pas kuliah di Jogja pernah dua kali ikut pertukaran pelajar. Baru saja pulang dari Inggris setelah menyelesaikan studi masternya. Tapi tetap saja jomblo sampai sekarang. Kasyan yah.

0 Koments:

Post a Comment

Udah makan, bro?