Traveler?
*tulisan ini dipenuhin dengan common sense dan subjektivitas penulis*
Segala sesuatu diciptakan di dunia ini berpasang-pasangan. Kalimat itulah yang terlontar oleh guru TPA tempat saya belajar dulu pas kecil. Kalimat ini adalah tafsir dari sebuah ayat dalam sebuah kitab suci di dalam sebuah agama. Kalimat ini memberikan harapan- *uhuk* bagi para jomblowan dan jomblowati, dan sekaligus memberikan ancaman.
Pro, 0, Kontra
Harapan, karena secara ekplisit, pria pasti mempunyai pasangannya yaitu wanita (atau pria juga, atau mungkin mahluk hidup lain?) dan begitu juga sebaliknya. Tapi di sisi lain, muncul juga ancaman. Ketika sesuatu dianggap populer, maka akan ada pihak-pihak yang suka dengan hal tersebut, anggap saja namanya grupis. Tapi, di sisi lainnya, akan ada orang yang bertolak belakang dengan hal tersebut, anggap saja haters. Selalu ada dua sisi dalam setiap hal.
Sebut saja ketika Aguste Comte memahami segala sesuatu dengan worldview positivism, pada perkembangannya muncul paham anti-positivism, yang lebih dikenal sebagai interpretivism. Positivist memakai pemahaman realist dan menelorkan peneliti kuantitatif, sementara Anti-Positivist memakai pemahaman constructivist dan menghasilkan peneliti kualitatif.
Positivist melihat sesuatu sebagai apa yang sudah ada, mereka melihat. Anti-Positivist melihat sesuatu sebagai sesuatu yang dibangun, mereka menggali.
X dan Y
Berdasarkan observasi yang saya lakukan, setidaknya menurut saya, dunia travel di Pulau Jawa- atau kalo saya seenaknya menjeneralisir, di Indonesia, ada dua kutub, kiri dan kanan. Tapi sesungguhnya kiri dan kanan ini tidak berhubungan dengan komunis, liberalis, ataupun mbak is.
Kiri dan kanan ini kasarnya saya membagi berdasarkan geografis. Karena saya tinggal di Jogja, kiri itu di kirinya Jogja, kanan itu kanannya Jogja. Simpel. Lebih dalam lagi, menurut saya, di sebelah kiri itu mempunyai pandangan travel yang lebih kuat pada perjalanannya itu sendiri, perjalanan, enhancing kuantitas dan kualitas perjalanan. Sementara itu, pada sebelah kanan, menurut saya lebih kuat pada perkembangan karya yang dihasilkan dari perjalanan, enriching dokumentasi perjalanan.
Paham yang berbeda kutub ini menghasilkan traveler yang menurut saya mempunyai mindset berbeda. Traveler dari kiri membutuhkan perjalanan yang baik, maka dari itu untuk memang mereka butuh literatur tentang guide perjalanan dan pengalaman perjalanan yang komprehensif, agar perjalanan mereka lebih maknyus. Tetapi, traveler dari kanan yang berpedoman kepada dokumentasi yang baik, akan lebih menyukai karya-karya yang menurut mereka keren, sebagai bahan pembelajaran bagi mereka.
Seenaknya menganalogikan, maka traveler kiri adalah traveler praktisi, traveler kanan itu traveler akademisi. Karena itu traveler kiri membutuhkan buku guide perjalanan yang komprehensif seperti Lonely Planet dan sebangsanya, sementara traveler kanan lebih suka catatan perjalanan yang dalam seperti Kepulauan Nusantara oleh Wallace.
Kedua sisi ini memang bertolak belakang. Namun, bukan berarti satu sisi lebih baik dari sisi lainnya. Tiap paham punya jamaahnya sendiri, ada orang yang concern di bidangnya. Seseorang boleh ada di dua sisi ini, sebutlah Paul Theroux. Atau kalo ga kenal, sebutlah orang lokal yang concern di dua sisi ini, Don Hasman atau Agustinus Wibowo.
Juga dimungkinkan kita bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya. Ketika seseorang traveler kanan garis keras bosan dan ingin berjalan santai ke sebuah tempat, bisa saja dia memakai Lonely Planet sebagai pertimbangannya. Begitu juga sebaliknya.
X vs Y
Entahlah, entah mengapa, malam ini TL sempat panas. Karena sebuah institusi memberikan predikat "dangkal" dari sebuah kelompok produk, maka kelompok tersebut tersinggung. Atau malah mungkin yang tersinggung bukan kelompok itu? Tapi orang-orang lainnya yang emang pengen manasi? Entalah.
Institusi itu yang saya tahu adalah institusi yang lumayan terkemuka. Tidak mungkin mereka menulis "dangkal" itu tanpa dasar. Setau saya mereka adalah kaum-kaum yang anti-positivist, mereka orang-orang kualitatif. Jadi ketika mereka di bilang membuat artikel "dangkal" karena tak ada data, saya cuma ketawa kecil saja. Ini seperti menilai penelitian kualitatif dengan penilaian kuantitatif, ya gimana mau bagus, menilainya aja pake cara yang beda.
Ketika sebuah masalah yang baru dilihat kulitnya langsung dihadapkan pada perdebatan, kemungkinan besar yang terjadi adalah terjadinya debat kusir, ide yang dipikir memiliki dasar yang berbeda, X vs Y, tak pernah bertemu. Yang terjadi adalah pertarungan mencari celah dan kelemahan diluar konteks. Contohnya seperti kemaren, yang menyalahkan lawan debat gara-gara salah ngetwit. Oke yang akhirnya ditutup dengan saling menjatuhkan dengan modus nomention.
Buat saya sendiri, ketika ada masalah, jangan langsung diadu dengan debat. Cobalah untuk diskusi dulu. Ketika anda debat, anda menconfront dua ide, sementara ketika anda berdiskusi, anda memfloorkan dua ide, bukan saling menghancurkan argumen. Lebih dari itu, anda bisa mengetahui kenapa sampai dia mengeluarkan statement itu. Ketika anda sudah tau alasannya, silahkan diadu argumennya.
Dan tentunya, ketika berdiskusi atau berdebat, pakailah identitas sendiri, bukan identitas orang lain, apalagi anonim.
0
Pro dan kontra itu biasa, setiap ada ide baru, ada yang berselebrasi, ada yang resisten. itu biasa, itu hidup. Saya membagi-bagi traveler dengan sebutan kiri dan kanan pasti juga akan ada yang mengangguk dan bergeleng (ato mungkin banyak yang bergeleng).
Saya sendiri kalau disuruh masuk kemana, saya bakal masuk ke traveler sisi kanan. Karena emang teman saya banyak dikanan. Tapi bukan berarti saya membenci traveler sisi kiri, teman saya juga banyak yang saya kategorikan traveler sisi kiri. Saya juga pernah kok ketika mau ke Singapura beli bukunya Claudia Kaunang, lumayan dapet guide perjalanan, jadinya ga kosong-kosong amat tentang itu.
Mungkin untuk lebih menghilangkan gap, kita harus mempertemukan kedua sisi ini dalam pertemuan. Mungkin kita harus membuat Travel Converence? Agar ide-ide yang lama ini terpendam bisa tersampaikan, agar para traveler tahu kalo sebenernya traveler ga cuma ada yang suka jalan-jalan aja atau cuma belajar menulis bagus aja. Ada banyak sisi traveler.
Kembali ke 0, dua sisi ini bukanlah negatif atau positif, dua sisi ini seimbang, sudah punya jamaahnya masing-masing. Perbedaan pola pikir bukan menjadi malapetaka, itu yang ngebuat traveling itu menjadi beraneka rasa.
Segala sesuatu diciptakan di dunia ini berpasang-pasangan. Kalimat itulah yang terlontar oleh guru TPA tempat saya belajar dulu pas kecil. Kalimat ini adalah tafsir dari sebuah ayat dalam sebuah kitab suci di dalam sebuah agama. Kalimat ini memberikan harapan- *uhuk* bagi para jomblowan dan jomblowati, dan sekaligus memberikan ancaman.
Pro, 0, Kontra
Harapan, karena secara ekplisit, pria pasti mempunyai pasangannya yaitu wanita (atau pria juga, atau mungkin mahluk hidup lain?) dan begitu juga sebaliknya. Tapi di sisi lain, muncul juga ancaman. Ketika sesuatu dianggap populer, maka akan ada pihak-pihak yang suka dengan hal tersebut, anggap saja namanya grupis. Tapi, di sisi lainnya, akan ada orang yang bertolak belakang dengan hal tersebut, anggap saja haters. Selalu ada dua sisi dalam setiap hal.
Sebut saja ketika Aguste Comte memahami segala sesuatu dengan worldview positivism, pada perkembangannya muncul paham anti-positivism, yang lebih dikenal sebagai interpretivism. Positivist memakai pemahaman realist dan menelorkan peneliti kuantitatif, sementara Anti-Positivist memakai pemahaman constructivist dan menghasilkan peneliti kualitatif.
Positivist melihat sesuatu sebagai apa yang sudah ada, mereka melihat. Anti-Positivist melihat sesuatu sebagai sesuatu yang dibangun, mereka menggali.
X dan Y
Berdasarkan observasi yang saya lakukan, setidaknya menurut saya, dunia travel di Pulau Jawa- atau kalo saya seenaknya menjeneralisir, di Indonesia, ada dua kutub, kiri dan kanan. Tapi sesungguhnya kiri dan kanan ini tidak berhubungan dengan komunis, liberalis, ataupun mbak is.
Kiri dan kanan ini kasarnya saya membagi berdasarkan geografis. Karena saya tinggal di Jogja, kiri itu di kirinya Jogja, kanan itu kanannya Jogja. Simpel. Lebih dalam lagi, menurut saya, di sebelah kiri itu mempunyai pandangan travel yang lebih kuat pada perjalanannya itu sendiri, perjalanan, enhancing kuantitas dan kualitas perjalanan. Sementara itu, pada sebelah kanan, menurut saya lebih kuat pada perkembangan karya yang dihasilkan dari perjalanan, enriching dokumentasi perjalanan.
Paham yang berbeda kutub ini menghasilkan traveler yang menurut saya mempunyai mindset berbeda. Traveler dari kiri membutuhkan perjalanan yang baik, maka dari itu untuk memang mereka butuh literatur tentang guide perjalanan dan pengalaman perjalanan yang komprehensif, agar perjalanan mereka lebih maknyus. Tetapi, traveler dari kanan yang berpedoman kepada dokumentasi yang baik, akan lebih menyukai karya-karya yang menurut mereka keren, sebagai bahan pembelajaran bagi mereka.
Seenaknya menganalogikan, maka traveler kiri adalah traveler praktisi, traveler kanan itu traveler akademisi. Karena itu traveler kiri membutuhkan buku guide perjalanan yang komprehensif seperti Lonely Planet dan sebangsanya, sementara traveler kanan lebih suka catatan perjalanan yang dalam seperti Kepulauan Nusantara oleh Wallace.
Kedua sisi ini memang bertolak belakang. Namun, bukan berarti satu sisi lebih baik dari sisi lainnya. Tiap paham punya jamaahnya sendiri, ada orang yang concern di bidangnya. Seseorang boleh ada di dua sisi ini, sebutlah Paul Theroux. Atau kalo ga kenal, sebutlah orang lokal yang concern di dua sisi ini, Don Hasman atau Agustinus Wibowo.
Juga dimungkinkan kita bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya. Ketika seseorang traveler kanan garis keras bosan dan ingin berjalan santai ke sebuah tempat, bisa saja dia memakai Lonely Planet sebagai pertimbangannya. Begitu juga sebaliknya.
X vs Y
Entahlah, entah mengapa, malam ini TL sempat panas. Karena sebuah institusi memberikan predikat "dangkal" dari sebuah kelompok produk, maka kelompok tersebut tersinggung. Atau malah mungkin yang tersinggung bukan kelompok itu? Tapi orang-orang lainnya yang emang pengen manasi? Entalah.
Institusi itu yang saya tahu adalah institusi yang lumayan terkemuka. Tidak mungkin mereka menulis "dangkal" itu tanpa dasar. Setau saya mereka adalah kaum-kaum yang anti-positivist, mereka orang-orang kualitatif. Jadi ketika mereka di bilang membuat artikel "dangkal" karena tak ada data, saya cuma ketawa kecil saja. Ini seperti menilai penelitian kualitatif dengan penilaian kuantitatif, ya gimana mau bagus, menilainya aja pake cara yang beda.
Ketika sebuah masalah yang baru dilihat kulitnya langsung dihadapkan pada perdebatan, kemungkinan besar yang terjadi adalah terjadinya debat kusir, ide yang dipikir memiliki dasar yang berbeda, X vs Y, tak pernah bertemu. Yang terjadi adalah pertarungan mencari celah dan kelemahan diluar konteks. Contohnya seperti kemaren, yang menyalahkan lawan debat gara-gara salah ngetwit. Oke yang akhirnya ditutup dengan saling menjatuhkan dengan modus nomention.
Buat saya sendiri, ketika ada masalah, jangan langsung diadu dengan debat. Cobalah untuk diskusi dulu. Ketika anda debat, anda menconfront dua ide, sementara ketika anda berdiskusi, anda memfloorkan dua ide, bukan saling menghancurkan argumen. Lebih dari itu, anda bisa mengetahui kenapa sampai dia mengeluarkan statement itu. Ketika anda sudah tau alasannya, silahkan diadu argumennya.
Dan tentunya, ketika berdiskusi atau berdebat, pakailah identitas sendiri, bukan identitas orang lain, apalagi anonim.
0
Pro dan kontra itu biasa, setiap ada ide baru, ada yang berselebrasi, ada yang resisten. itu biasa, itu hidup. Saya membagi-bagi traveler dengan sebutan kiri dan kanan pasti juga akan ada yang mengangguk dan bergeleng (ato mungkin banyak yang bergeleng).
Saya sendiri kalau disuruh masuk kemana, saya bakal masuk ke traveler sisi kanan. Karena emang teman saya banyak dikanan. Tapi bukan berarti saya membenci traveler sisi kiri, teman saya juga banyak yang saya kategorikan traveler sisi kiri. Saya juga pernah kok ketika mau ke Singapura beli bukunya Claudia Kaunang, lumayan dapet guide perjalanan, jadinya ga kosong-kosong amat tentang itu.
Mungkin untuk lebih menghilangkan gap, kita harus mempertemukan kedua sisi ini dalam pertemuan. Mungkin kita harus membuat Travel Converence? Agar ide-ide yang lama ini terpendam bisa tersampaikan, agar para traveler tahu kalo sebenernya traveler ga cuma ada yang suka jalan-jalan aja atau cuma belajar menulis bagus aja. Ada banyak sisi traveler.
Kembali ke 0, dua sisi ini bukanlah negatif atau positif, dua sisi ini seimbang, sudah punya jamaahnya masing-masing. Perbedaan pola pikir bukan menjadi malapetaka, itu yang ngebuat traveling itu menjadi beraneka rasa.
ada satu traveler kiri yang berfaham traveler kanan: Febian Saktinegara dengan Epic Java-nya!
ReplyDeleteTidak hanya itu ding tapi, karya2 dokumenter perjalanannya banyak juga yg bisa dilihat di youtubenya.
Teruuus, aku masuk yang mana donngg?? :p