Antara Pak Suwaji, Sapi, dan Janji

Text by Wana, Photo by Sasa
Dari balik portal pemungutan retribusi parkir 'wisata merapi' terlihat batas antara hijau dan abu-abu, batas terakhir dimana awan panas menampakkan keganasannya. Tak jauh dari batas tersebut terlihat sebuah rumah, sepertinya adalah rumah terakhir yang terkena awan panas. Tapi, siapa sangka kalau rumah ini dulunya adalah salah satu tempat tinggal sub-unit KKN PPM UGM unit 62.
Begitu tiba disana, saya dan teman saya, Sasa‒ yang ternyata adalah anggota KKN PPM UGM unit 62‒ sontak kaget. Bagaimana tidak, dulunya tempat ini adalah tempat menginap teman seperjuangannya ketika KKN. Semua hijau yang ada di daerah ini disulap menjadi abu-abu bak foto penuh warna yang di sulap menjadi black-and-white di Photoshop.

Rangkaian kursi tempat bersantai mereka di depan rumah kini bolong di beberapa titik karena tak kuat menahan panas, lubang dan gundukan tanah semua rata karena terisi oleh material vulkanik, pepohonan hijau semua menjadi gundul karena awan panas. Seperti itulah pemandangan awal ketika kami sampai disana.

Ketika kami melangkah masuk ke area rumah tersebut, seorang mbah-mbah muncul. Ternyata dia adalah mbah yang tinggal di rumah ini, sepertinya dia adalah ibu dari pemilik rumah ini. Kemudian Sasa bertanya, "Pak Suwaji ada?". Oh, ternyata yang memiliki rumah ini adalah Pak Suwaji, saya baru sadar.

Kami masuk lebih dalam, dan bertemu dengan Ibu Suwaji, diapun menyapa kami dan tersenyum, dan kamipun mengobrol kecil. Ternyata Pak Suwaji sedang membenahi atapnya yang jebol karena terkena awan panas dan material vulkanik, di kandang sapinya yang kini kosong.

Tak lama setelah menyadari kedatangan kami, Pak Suwaji pun turun. Kamipun mengobrol kecil dengan Keluarga Suwaji. Ternyata status mereka masih pengungsi, dan mereka belum diijinkan pulang oleh Pemerintah. Saat ini pun mereka pulang hanya untuk membenahi apa yang bisa dibenahi di rumah mereka.

Ternyata, setelah kami mengobrol dengan mereka, mereka dengan terbuka menyebutkan keadaan mereka. Rumah mereka rusak lumayan parah di atap. Sistem pengairan di daerah tersebut putus, dan Keluarga Suwaji pun terkena dampaknya. Beberapa sapi mereka mati dengan mengenaskan, semuanya loncat ke jurang di belakang kandang karena bingung harus lari kemana, begitu juga dengan anak sapi yang baru saja dilahirkan ke dunia ini. Ayam mereka mati di dalam lubang, mungkin mereka juga bingung harus kemana.

Rumahnya berantakan, Asetnya yang berupa ternak semua lenyap, bahkan air yang tadinya mengalir dengan sangat lancar kini kering kerontang. Tapi, soal urusan atap sudah bisa dibenahi, dan terimakasih kepada para donatur air bersih, kini airpun dapat dinikmati walaupun keran tidak berjalan.

Hanya satu masalahnya. Sapi.

umbulharjo-11
Tengkorak dari anak sapi milik pak Suwaji

Pada 5 November 2010, Pemerintah berjanji akan mengganti sapi-sapi milik warga korban tragedi merapi ini (Detik.com). Angka Rp 100 miliarpun dipampang di berbagai media dan dijajikan akan digelontorkan. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 13 November 2010, budget penggantian sapi ini ditambah sebesar Rp 61 miliar (Republika.co.id). Warga menjadi tenang karena sapi mereka dijanjikan akan diganti.

Rabu, 1 Desember 2010. Pemerintah siap membeli 3.811 ekor sapi peternak korban merapi (Metrotvnews.com). Sebuah berita yang sangat baik bagi para korban tragedi merapi, akhirnya hak mereka akan dikembalikan. Tapi ternyata ada berita lain, 6 Desember 2010, ratusan warga yang tergabung dalam Forum rakyat Korban Merapi (Forkom) mendatangi kantor Gubernur DIY untuk meminta gati rugi atas sapi yang mati (Kompas.com). Tandanya sapi mereka masih belum diganti, dan mereka sudah benar-benar butuh uang ganti rugi itu.

Pak Suwaji pasrah. Ketika kami tanya apakah sapinya yang mati lompat ke jurang itu akan diganti oleh Pemerintah apa tidak, Pak Suwaji cuma tersenyum dan menjawab 'saya ndak tahu' (21 Desember 2010). Kabar burung yang beredar mengabarkan sapinya akan diganti, kabar lainnya menyatakan bahwa sapinya tidak akan diganti. Pak Suwaji masih senyum dan terlihat pasrah. Tidak terlihat keinginan yang menggebu-gebu untuk meminta ganti rugi ke Pemerintah.

Kemudian saya berpikir, apakah mungkin bapak yang sudah meninggalkan sapinya, karena sebuah janji Pemerintah, akhirnya akan tidak dapat penggantinya? Kalau sampai memang hal ini terjadi berarti memang parah benar Pemerintah kita ini. Saya tidak dapat berkata apa-apa lagi.

Seharusnya Pemerintah cepat-cepat mengganti uang para korban ini. Karena mungkin hanya uang inilah sisa harta benda mereka, dan dengan uang inilah mereka bisa melanjutkan hidupnya. Uang ini mungkin akan dipakai untuk mereka melakukan usaha, atau mungkin hal lainnya. Mana katanya janji Pemerintah yang katanya pro rakyat, kok sampai sekarang belum diganti juga sapi mereka, teriak benak saya.

Konsentrasi saya pecah. Bukan karena kepala saya meledak memikirkan janji yang tinggal janji, tapi karena Ibu Suwaji memanggil kami dan menjamu kami dengan Air Mineral (di labelnya tertuliskan Mata Air Kaliurang yang entah masih ada apa tidak sekarang) dan Biskuit, dan kami akan dibuatkan Sarimi oleh ibu. Tapi sayang, kami harus pergi ke destinasi selanjutnya karena langit mulai menggelap.

Kamipun beranjak pulang. Pamit kamipun dibalas senyum ramah penuh kehangatan dari Keluarga Suwaji. Kehilangan harta dunia bukanlah alasan untuk menyerah pada hidup. Keluarga Suwaji telah menunjukkannya pada saya. Walau sapi-sapi mereka telah hilang, dan janji Pemerintah akan tetap menjadi janji, mereka tetap melanjutkan hidup dengan legowo.

Semoga ketika saya datang di kunjungan berikutnya, rumah mereka telah terbenahi, terdengar suara sapi menge-moo lagi, dan janji Pemerintah yang telah dilaksanakan. Dan pastinya, masih ada senyuman ramah dari Keluarga Suwaji.